Senin, 21 Desember 2009

Cintanya diantara Tian dan Rian.....


Cinta terlibat pertengkaran hebat dengan Rian, cowok yang sudah lebih dari dua tahun menjadi pacarnya itu. Cinta bingung, kenapa masalah yang sebenarnya kecil itu, malah menjadi besar dan berakhir dengan perpisahan. Cinta berpikir ini semua karena Rian yang terlalu keras kepala. Sementara Rian beranggapan Cinta masih bersifat kekanakan.

Hari terus berlalu, sebenarnya Cinta masih berharap Rian kembali. Namun, gengsi Rian memang sangat tinggi bagi seorang Cinta.
"Kenapa sih, Rian gak pernah ngerti apa yang ku maksud?! Kenapa aku yang harus selalu ngalah?!" tanya Cinta dalam hati. Namun, pertanyaan itu hanya akan menjadi sebuah pertanyaan. Karena Cinta, memang tak pernah mau ambil pusing untuk masalah satu ini. Cinta berpendapat, masih banyak hal-hal penting lainnya yang lebih pantas membuatnya pusing.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sesampainya disekolah, Cinta langsung menuju kelasnya. Entah kenapa tiap kali Cinta tiba dikelas, matanya selalu tertuju pada seseorang yang duduk disudut belakang kelasnya.

"Tian.." Gumam Cinta dalam hati.
Namun, Cinta segera mengalihkan matanya. Ia tak ingin Tian menyadari bahwa Cinta sedang memperhatikannya. Tak lama kemudian, Cinta sudah tenggelam dalam dunianya sendiri, membuat puisi sambil mendengarkan lagu. Tapi, puisinya kali ini agak berbeda dari biasanya. Puisi Cinta kali ini memiliki makna yang cukup jelas bahwa Cinta sedang jatuh cinta.

"Cinta... malem ni kamu turun bimbel kan?" Sapa seseorang yang sangat mengagetkan Cinta. Tapi, Cinta tidak langsung menjawab. Cinta malah terdiam. Cinta tak menyangka bahwa yang menyapanya kini adalah Tian, cowok pendiam dan yang paling manis menurut Cinta, cowok yang belakangan sering menghiasi mimpinya, dan menjadi sumber inspirasi Cinta dalam membuat puisi-puisi romantisnya.

"Emm....iya..iya...aku turun kok...." Cinta menjawab agak gugup, jantungnya berdesir tak karuan.

"Kebetulan jadwal bimbel kita sama, tapi aku belum tau dimana letak persisnya, maklumlah rumahku kan jauh dari sini. Pasti kamu tahu kan tempat bimbelnya?" tanya Tian

"Oh iya., aku tahu kok tempatnya..."

"Bagus deh kalau gitu, aku bisa minta tolong kan?"

"Emm...ya..kalau bisa sih, aku tolong. Tapi, kalau gak bisa, kamu gak maksa kan?" Tanya Cinta yang membuat Tian tersenyum manis, semanis senyum Tian yang sering ada di mimpi Cinta.

"Hehe... kamu bisa aja... gini, berhubung aku gak tau tempatnya gimana kalo malem ini kita bareng aja berangkatnya. Kamu mau kan?"

"Bareng?!" Cinta bertanya balik

"Iya bareng..." Ujar Tian memastikan
Cinta serasa disambar petir saat itu. Jantung Cinta berdetak tak karuan. Cinta merasa dirinya sedang bermimpi. Tapi, lamunan Cinta segera buyar saat Tian melambai-lambaikan tangannya didekat wajah Cinta.

"Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Tian yang bingung melihat tingkah Cinta

"Eh...sorry, tadi sampai dimana ya?"

"Emmm... tadi sampai di terminal, hehe... Eh... becanda ja kok! Tadi, aku ngajakin kamu bareng ma aku ke tempat Bimbel..."
"Oh iya... hmm, tapi sepertinya kamu gak bisa jemput aku dirumah. Orang tuaku protektif banget. Tar yang ada kamu malah diomelin. Hmm, gimana kalau kamu tunggu aku dirumahnya Dwi... tar aku minta supirku antar aku kesana. Trus kita tempat bimbelnya bareng deh, kebetulan tempat bimbelnya gak jauh kok dari rumahnya Dwi..."

"Hmm, oke deh kalau gitu. Oya, boleh aku minta nomor hape kamu?"

"Boleh, 0829 292 22299..."

"Makasih ya... tar aku telpon kalo udah dirumahnya Dwi."

"Oke deh..."
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Mami... malem ini Cinta ada bimbel. Entar Cinta diantar supir aja ya...” Ujar Cinta di sela-sela makan siang bersama maminya.

“Biasanya memang begitu kan? ” tanya maminya

“Hehe... iya juga ya...” Cinta tertawa garing

“Cinta, cepetan makannya. Kalau sudah dingin gak enak lagi.”

“Eh iya Mi..Yup...selamat makaaaan..!”

Makan siang Cinta kali ini sangat semangat. Tak seperti biasanya. Cinta tak tau bagaimana cara menutupi perasaannya yang takut, gugup, senang, gelisah dan 1001 jenis rasa lainnya jadi satu. Cinta tak ingin maminya tau apa yang sedang ia rasa sekarang, karena Cinta yakin maminya pasti akan marah besar jika tahu rencana apa yang sedang disusun Cinta untuk nanti malam.

“Pak... stop disini aja yah...”

“Loh kok stop disini, Non?”

“Emmm... saya mau berangkat sama temen saya aja Pak. Kan tempat bimbelnya gak jauh dari sini.”

“Tapi, tadi Nyonya sudah pesanin saya supaya mengantar Non Cinta sampai ke tempat bimbelnya...”

“Duuhhh... toloong banget Pak... kali ini aja... kan sebelumnya saya gak pernah minta tolong kaya gini...”

“Waduuh tapi saya gak berani, Non. Nanti kalau ada apa-apa gimana?”

“Ya..jangan doain yang gak bagus gitu dong. Tenang, saya bisa jaga diri kok. Oiya.. jangan bilang-bilang Mami ya Pak....”

“Duh, tapi Non Cinta janji ya, ni cuma sekali.”

“Siip...”

“Ya sudah. Kalau begitu hati-hati ya, Non. Kalau sudah selesai bimbelnya telpon aja ya.”

“Berez...Makasih ya Pak...”

“Huh...yesss...akhirnya...” sorak Cinta dalam hati.

Cinta menyaksikan mobilnya yang makin menjauh dan akhirnya hilang di tikungan. Bersamaan dengan itu wajah Cinta di sorot lampu kendaraan. Sebuah motor menuju ke arahnya. Ternyata itu motornya Tian.

“Cinta... sudah lama nunggu ya? Maap ya...” kata Tian sambil membuka helmnya.

Cinta tak langsung menjawab. Ia sepertinya masih begitu terpesona dengan wajah manis Tian yang selalu dimimpikannya.

“Cinta kok diem aja? Kita berangkat yuk…” ajak Tian

“Yuk...”

Sejak malam itu Cinta dan Tian menjadi akrab. SMS yang awalnya tentang pelajaran mulai berubah jadi SMS yang isinya saling memberikan perhatian. Hanya butuh waktu 1 bulan membuat sepasang anak manusia ini akhirnya mengakui bahwa mereka saling jatuh cinta.

“Tian... Cinta mohon jangan beritahu teman-teman dulu ya, tentang ini...”

“Memangnnya kenapa Cinta? Apa ada yang salah kalau teman-teman tau kita ini sudah pacaran?”

“Cinta cuma gak mau mereka entar ribut. Lebih baik mereka tau sendiri.”

“Kalo memang Cinta pikir itu yang terbaik. Tian setuju kok.”

“Makasih ya Tian...”

“Iya Cinta... ni semua karena Tian sayang Cinta. Apapun akan Tian lakukan untuk Cinta. Tapi, Tian mohon jangan sakiti Tian ya...” ujar Tian

Cinta terdiam mendengar kata-kata Tian waktu itu. Seketika Cinta ingin menangis, tapi dia tak ingin Tian tau apa yang dirasakannya.

Permohonan Tian serasa duri yang menyesakkan jiwanya. Dalam hati, airmata Cinta telah tertumpah ruah. Cinta sangat menyayangi Tian sepenuh hatinya. Tapi, Cinta sedih karena ia tak berani berjanji untuk takkan menyakiti Tian. Cinta masih harus menghadapi banyak rintangan demi mempertahankan cintanya. Salah satunya adalah menghadapi maminya yang jelas-jelas tidak setuju kalau Cinta berpacaran dengan cowok lain selain Rian.

Sebelumnya Cinta tak pernah menyesal mendapatkan seorang mami yang overprotektif seperti maminya. Selama ini Cinta merasa hal itu wajar-wajar saja. Tapi, entah mengapa hal itu kini membuat resah hidupnya.

Hari demi hari terus dilalui Cinta dan Tian dengan semangat cinta yang bergejolak. Langit dan bintang menjadi saksi betapa kuatnya cinta mereka. Walaupun mereka harus menjalaninya secara diam-diam.

Sepandai-pandainya tupai melompat pasti pernah terjatuh juga. Peribahasa ini sepertinya tertuju untuk Cinta dan Tian. Sehebat-hebatnya mereka menyembunyikan semua akhirnya ketahuan juga. Gosip Cinta dan Tian yang telah berpacaran selama tiga bulan begitu cepat tersebar hingga seluruh penjuru sekolah. Dan hal yang paling ditakuti Cinta akhirnya terjadi juga.

“Apapun alasan yang kamu berikan, mami tetap tidak akan pernah setuju kamu berpacaran dengan anak itu.”

“Tapi kenapa? Apa yang salah dengan Tian? Dia anak yang baik. Dia juga berasal dari keluarga yang terhormat dan terpandang, sama seperti kita. Dia juga bukan tipe anak nakal seperti yang sering mami lihat di Mall...dia sangat jauh dari yang mami bayangkan.”

“Sudah mami katakan, mami tidak akan pernah setuju!”

“Tapi, Mami harus mendengarkan penjelasan Cinta.”

“Terserah kamu mau menjelaskan apa saja tentang kebaikannya. Sekarang silahkan kamu memilih dia atau mami! Kalau kamu pilih mami, putuskan hubunganmu dengannya. Mami gak mau lagi mendengar nama anak itu lagi dari mulut kamu. Dan kamu juga harus kembali dengan Rian, karena dialah yang terbaik buat kamu. Tapi, kalau kamu memilih anak itu. Silahkan pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali. Karena mami takkan lagi mengakuimu sebagai anak! Mami tunggu jawabanmu besok pagi ketika sarapan.”

Cinta tak mampu lagi berkata-kata. Hanya airmata yang mengungkapkan betapa hancurnya hati Cinta. Kini wajah Tian yang terbayang di pelupuk matanya. Wajah Tian yang ketika itu memohon pada Cinta agar tak menyakitinya.

Semalam suntuk Cinta merenung ditemani airmatanya. Ia tak tahu apa yang harus ia jawab pada maminya 60 menit lagi.

“Selamat pagi Cinta, mami sudah buatkan roti dengan selai kesukaanmu.” sapa Mami yang sudah duduk di meja makan.

“Makasih Mi...” ujar Cinta sedikit serak karena tangisnya semalam.

“Jadi bagaimana keputusanmu?” tanya Mami yang serasa sebuah tamparan keras buat Cinta. Karena Cinta memang belum punya jawaban.

“Em...Cinta...”

“Cinta, Mami mengerti kalau Cinta sangat menyayangi mami. Cinta gak mungkin meninggalkan mami sendiri disini. Cuma Cinta harta termahal yang mami punya didunia ini.”

Cinta hanya bisa terdiam melihat maminya kini menangis didepannya. Cinta tak kuasa menahan airmatanya. Cinta lantas memeluk Mami seerat yang dia bisa. Cinta tak ingin kehilangan Maminya.

“Cinta... kamu gak berangkat sekolah?” tanya Mami melepas pelukannya.

“Iya Mi.. Cinta berangkat sekolah kok.”

“Kalau begitu nanti biar Rian yang mengantar dan menjemputmu. Karena supir kita sedang sakit.”

Cinta hanya mengangguk kemudian ia bersiap-siap. Tak lama kemudian terdengar suara klakson. Sebuah mobil yang hampir 4 bulan ini tak lagi menjemputnya. Cinta masuk kedalamnya dan Rian menyambutnya dengan senyum yang indah seperti saat mereka bersama dulu.

“Aku tahu, kamu pasti akan kembali untukku. Cinta, maapkan aku karena keegoisanku selama ini.” Ujar Rian memohon kepada Cinta.

Cinta terdiam melihat kedalam mata Rian yang bersinar. Ternyata Cinta masih merasakan getar-getar itu dalam hatinya. Cinta seperti telah menemukan kembali cahaya hidupnya yang telah lama hilang.

“ Kita jalani semua dari awal lagi ya...” ujar Cinta
“Oke..tuan Putriku yang paling cantik. Mari kita berangkat sekarang.”

Sesampainya didepan disekolah, Rian segera turun dan membukakan pintu mobil untuk Cinta. Ia melakukan bak seorang pangeran yang mempersilahkan Tuan Putrinya. Cinta hanya bisa tersenyum melihat tingkah Rian. Setelah mobil Rian menjauh, Cinta memasuki gerbang sekolah dengan hati yang gusar. Ia teringat saat-saat ia bersama Tian. Tian yang selalu menunggunya di Gerbang Sekolah. Tapi kini, dimana Tian... Cinta mengamati tiap sudut halaman sekolah. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya dari belakang.

“Cinta, jelaskan sekarang. Kenapa Cinta bisa berangkat dengan cowok berengsek itu?” Cinta tak bisa menjawab. Cinta hanya bisa menitikkan airmata.

“Jawab Cinta..! Tian gak butuh airmata! Tian butuh kepastian sekarang!” Tian membentak Cinta.

“Maapkan Cinta..Tian...”

“Apa? Maap? Buat apa? Tolong, jangan katakan kalau Cinta menyerah memperjuangkan cinta kita.”

Cinta tak menjawab. Lantas, Ia berlari sekuat tenaga menjauhi Tian. Cinta tak mampu lagi memandang wajah Tian. Sungguh, Cinta tak ingin menyakitinya. Tapi, keadaan tak memungkinkan untuk mereka menjalani cinta yang tak pasti.

Sementara itu, Tian hanya terdiam. Ia menundukkan kepalanya menahan airmata yang hampir jatuh dari disudut matanya. Hatinya hancur. Cinta telah menyakitinya. Tian tak tau berapa lama waktu yang diperlukannya untuk mengobati semua perih dihatinya.

Sejak saat itu Cinta dan Tian tak pernah lagi bertegur sapa. Walaupun mereka berada di kelas yang sama. Sebisa mungkin mereka saling menghindar.

Dan Cinta hingga detik ini belum mampu menghapus Tian dari relung hatinya. Cinta berjanji, selamanya ia akan menyisakan sedikit ruang di hatinya untuk Tian. Atas nama cinta yang tak bisa menyatu. Sejak itu ia mengerti bahwa cinta tak harus saling memiliki.

“Maapkan aku, Tian… Kau pantas menyebutku pengkhianat besar. Maapkan aku…”

***The End***



Based on true story... by: FAMELA ASDITALIANA
read more..